Di
zaman modern ini, makna belajar nampaknya telah bergeser ke arah yang kurang tepat dan tak sedikit pula masyarakat yang mengartikan belajar
secara sempit.
Nah, untuk mengurai permasalahan ini, kita perlu
mengidentifikasi terlebih dahulu mengenai pengertian dari 'belajar' itu sendiri. Apa sih arti
belajar itu? Dan apa sih tujuan dari belajar itu?
Menurut
KBBI, pengertian belajar adalah berusaha memperoleh kepandaian atau
ilmu. Dari sini, tujuan dari belajar sangatlah jelas, yakni agar
memperoleh ilmu atau pengetahuan. Sehingga dalam prakteknya, apapun
kegiatan yang tujuannya untuk mencari ilmu disebut dengan belajar.
Belajar tidak mengenal waktu, tempat, jarak, lingkungan maupun usia.
Semua orang bebas untuk belajar apapun yang disukainya. Namun, istilah
belajar ini semakin lama menjadi semakin sempit karena mindset
masyarakat telah berubah.
Di
era modern ini, mayoritas masyarakat mengartikan belajar apabila ia
pergi ke sekolah, jika ia tidak ke sekolah maka tidak dikatakan sebagai
belajar Persepsi ini menimbulkan pemahaman bahwa sekolah adalah satu-satunya tempat belajar untuk mencari ilmu. Padahal di tempat manapun
kita semua bisa mencari ilmu. Misalnya saja anak yang tinggal di desa
yang kebetulan orang tuanya memiliki sawah, anak tersebut bisa saja ikut
orang tuanya menggarap sawah. Nah, disitulah proses terjadinya belajar
si anak. Anak akan mendapatkan ilmu tentang cara bertani dari orang tuanya.
Pemahaman bahwa sekolah adalah tempat satu-satunya untuk belajar harus
hilang dari masyarakat, karena akibatnya sangat fatal sekali untuk
generasi selanjutnya. Pemahaman seperti itu mengantarkan pada sebuah
pemahaman bahwa belajar itu ya membaca buku, menulis dan menghafal saja.
Padahal tidak demikian, apapun yang dilakukan seseorang selama itu untuk mencari
ilmu atau pengetahuan, maka sudah dianggap sebagai belajar. Bisa saja
mencari ilmu dengan cara ngobrol atau diskusi, mengamati lingkungan
sekitar, eksperimen, menonton video, bermain dan masih banyak lagi.
Pada suatu waktu saya jadi teringat sebuah dialog antara anak dengan orang tua, seperti berikut,
Ibu : "Nak udah makan belum?"
Anak: "Sudah Buk."
Ibu: "Ini sudah malam lho, kenapa tidak belajar?" (sambil merapikan tempat jualan)
Anak: "Nanti Buk, nunggu jualannya selesai dulu."
Ibu: "Nanti kamu capek malah nggak jadi belajar."
Anak: "Nggak capek Buk."
Ibu: "Oh yasudah."
Dari
percakapan di atas, si Ibu tidak sadar bahwa anaknya sedang belajar,
yakni belajar berjualan atau menjadi penjual yang baik. Jualan dagangan itu
kan juga memerlukan sebuah ilmu, sedangkan ilmu itu diperoleh
dengan cara apapun. Sebagai contoh anak tersebut, ia mendapatkan ilmu
melalui praktek langsung di lapangan dan dari situlah ia belajar.
Si
Ibu di atas sudah terstigma oleh lingkungan bahwa belajar adalah membaca
buku, mengerjakan soal, menghafal, mencatat PR mata pelajaran, sedangkan
jualan tidak termasuk belajar.
Melalui
tulisan ini, penulis mengajak kepada para pembaca untuk memaknai ulang
apa itu arti belajar dan bagaimana seharusnya menempatkan arti belajar
itu sendiri.
Penulis : Isra Yuwana
Editor : Tim Darani/LF
Tidak ada komentar: